Apa Itu Dividen Konstruktif? Tantangan dan Contoh Kasus di Indonesia
Dividen konstruktif adalah pembayaran yang dianggap sebagai dividen oleh otoritas pajak karena tidak wajar, sering muncul dalam transaksi afiliasi untuk menghindari pajak.
Dalam dunia pajak, ada istilah yang mungkin terdengar asing bagi sebagian orang, yaitu dividen konstruktif. Meski terdengar rumit, konsep ini cukup penting dalam konteks pengaturan transaksi antarpihak afiliasi. Di Indonesia, konsep ini sering muncul dalam pemeriksaan pajak, khususnya ketika otoritas pajak menemukan pembayaran bunga pinjaman yang dianggap tidak wajar.
Mari kita bahas apa itu dividen konstruktif, bagaimana ia diterapkan dalam regulasi pajak Indonesia, serta tantangan dan contoh nyatanya di lapangan.
Apa Itu Dividen Konstruktif?
Secara sederhana, dividen konstruktif adalah kondisi di mana suatu pembayaran (misalnya bunga pinjaman) diperlakukan sebagai dividen oleh otoritas pajak karena dianggap sebagai distribusi laba terselubung. Hal ini biasanya terjadi dalam transaksi antarafiliasi, seperti antara induk perusahaan dan anak perusahaan, atau antara perusahaan dan pemegang saham utamanya.
Contohnya, jika sebuah perusahaan memberikan pinjaman kepada pemegang sahamnya dengan tingkat bunga yang jauh di atas rata-rata pasar, maka kelebihan bunga tersebut bisa dianggap sebagai bentuk pembagian laba—alias dividen—oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
Berdasarkan Pasal 18 Ayat 4 UU PPh, DJP memiliki kewenangan untuk melakukan penyesuaian atas penghasilan atau biaya yang tidak sesuai prinsip kewajaran usaha [1]. Penyesuaian ini disebut secondary adjustment, dan salah satu bentuknya adalah mengklasifikasikan kelebihan bunga sebagai dividen.
Kenapa Ini Penting?
Tujuan utama dari penerapan konsep ini adalah mencegah penghindaran pajak. Dengan memperlakukan kelebihan bunga sebagai dividen, DJP berusaha memastikan bahwa perusahaan tidak menggunakan struktur pinjaman hanya untuk mengurangi beban pajak penghasilan badan.
Namun sayangnya, penerapan konsep ini masih menyisakan banyak pertanyaan. Salah satunya adalah soal objek pajak. Dividen yang diterima oleh badan dalam negeri umumnya tidak dikenai pajak selama syarat tertentu dipenuhi. Tapi jika diterima oleh orang pribadi, aturannya berbeda.
Contoh Kasus dan Perhitungan
Misalnya, PT A memberikan pinjaman sebesar Rp10 miliar kepada pemegang saham utamanya, Bapak X, dengan bunga 20% per tahun. Padahal, suku bunga pasar saat itu hanya sekitar 10%.
Berikut perhitungannya:
- Bunga yang dibayarkan: Rp10 miliar × 20% = Rp2 miliar
- Bunga wajar: Rp10 miliar × 10% = Rp1 miliar
- Kelebihan bunga: Rp2 miliar – Rp1 miliar = Rp1 miliar
Dalam pemeriksaan pajak, DJP menemukan bahwa bunga 20% tidak wajar dan menetapkan bahwa kelebihan bunga sebesar Rp1 miliar harus diperlakukan sebagai dividen konstruktif.
Jika Bapak X adalah orang pribadi, maka dividen sebesar Rp1 miliar akan dikenai PPh Final 10%, atau sebesar Rp100 juta. Sementara itu, PT A sebagai pemberi pinjaman juga harus memotong pajak tersebut dan menyetorkannya ke negara.
Namun, jika penerima adalah perusahaan lain (PT Y), maka dividen tersebut bisa saja tidak dikenai pajak selama syarat kepemilikan saham dipenuhi.
Tantangan dan Kontroversi
Salah satu tantangan terbesar adalah soal yurisdiksi pemotongan pajak. Siapa yang bertanggung jawab atas pemotongan pajak atas dividen konstruktif ini? Apakah pemberi pinjaman atau penerima pinjaman? Masalah ini belum sepenuhnya dijawab secara tegas dalam regulasi.
Selain itu, terdapat dua aturan setingkat yang tampaknya bertentangan: PMK No. 172/2023 dan PMK No. 18/2021. Dalam hal ini, seharusnya berlaku asas lex specialis derogat legi generalis, yaitu aturan yang lebih spesifik harus didahulukan daripada aturan umum. Sayangnya, implementasi asas ini masih belum konsisten.
Kesimpulan
Dividen konstruktif adalah alat penting dalam upaya mencegah penghindaran pajak melalui transaksi afiliasi. Namun, penerapannya masih menyisakan banyak pertanyaan akibat ketidakjelasan regulasi dan inkonsistensi interpretasi.
Agar praktisi pajak—baik dari sisi wajib pajak maupun fiskus—memiliki panduan yang jelas, Kementerian Keuangan dan DJP perlu memberikan penjelasan teknis yang lebih detail dan konsisten. Dengan begitu, semua pihak bisa menjalankan kewajiban pajaknya dengan baik tanpa merasa dirugikan.