Management 101 : Evolusi Perilaku Belanja dan Tuntutan Inovasi Bisnis Berkelanjutan

Konsumen zaman now terus berubah, menuntut bisnis gesit berinovasi. Pahami pola belanja baru mereka, dari kenyamanan online hingga nilai. Matasigma siap bantu bisnis Anda beradaptasi cepat dan tetap relevan di era dinamis ini.

Kita semua tahu, dunia bisnis itu kayak lari maraton, tapi lintasannya berubah-ubah terus. Nah, yang paling sering bikin lintasan ini berubah siapa lagi kalau bukan pelanggan kita tercinta? Apalagi sejak beberapa tahun terakhir ini, terutama gara-gara pandemi COVID-19, cara orang belanja dan apa yang mereka mau itu benar-benar jungkir balik. Kebiasaan yang dulu kita pikir cuma sementara, eh, ternyata keterusan dan jadi "standar baru". Ada laporan keren nih dari McKinsey namanya "State of the Consumer 2025". Isinya ngebahas gimana konsumen di seluruh dunia udah berubah, dan banyak banget yang relate sama kondisi di pasar Indonesia kita ini.

Yuk, kita bedah bareng-bareng di artikel Matasigma kali ini, gimana sih konsumen modern, termasuk yang di Indonesia, bikin kita sebagai pebisnis harus siap "disrupsi" alias siap berubah terus-menerus. Dan yang paling penting, apa dampaknya buat strategi bisnis kita ke depan?

Lima Kebiasaan "Warisan" Pandemi yang Masih Nempel di Konsumen Sampai Sekarang

Pandemi COVID-19 itu bukan cuma soal kesehatan, tapi juga jadi "mesin waktu" yang mempercepat perubahan kelakuan konsumen. McKinsey nemuin ada lima hal penting yang bakal terus ngaruh ke cara orang belanja di tahun-tahun mendatang. Coba kita lihat satu-satu dan sambungin sama apa yang terjadi di Indonesia:

1. Makin Suka Sendirian dan Main Internet: Pokoknya Harus Praktis!


Dulu pas lockdown, orang jadi biasa ngandelin internet buat apa-apa dan banyak ngabisin waktu di rumah. Ternyata, kebiasaan ini nempel terus sampai sekarang. Di seluruh dunia, cara orang ngabisin waktu dan uang udah beda banget dibanding lima tahun lalu. Mereka maunya serba cepat, praktis, dan lebih mikirin diri sendiri. Contohnya di Amerika, orang di tahun 2025 punya waktu luang tiga jam lebih banyak seminggunya dibanding tahun 2019. Dan hampir 90% waktu luang itu dipakai buat kegiatan sendirian, kayak ngejar hobi, santai, belanja online, olahraga, atau main media sosial.

Gimana di Indonesia? Wah, ini sih kita banget! Pengguna internet dan medsos di sini meledak. Nonton serial maraton di Netflix, main game online, atau sekadar rebahan sambil scroll TikTok udah jadi pemandangan sehari-hari. Karena maunya praktis, layanan belanja online dan pesan antar makanan juga jadi idola. Siapa sih yang nggak kenal Tokopedia, Shopee, GoFood, atau GrabFood? Udah kayak kebutuhan pokok. Lebih dari 90% konsumen di Tiongkok dan AS bilang mereka belanja di toko online dalam sebulan terakhir; sama juga kayak lebih dari 80% konsumen di Jerman dan Inggris. Pesan antar belanjaan dapur juga laku keras: hampir 40% konsumen di Jerman, Inggris, dan AS pakai layanan ini setiap minggu. Intinya, konsumen sekarang maunya "semua diantar ke depan pintu". Ini nggak cuma ngubah cara jualan barang, tapi juga cara orang pesan makanan dan belanjaan. Pangsa pasar pesan antar makanan naik dari 9% di 2019 jadi 21% di 2024 secara global. Jadi, siap-siap aja, konsumen bakal makin nggak sabaran dan maunya serba cepat dan gampang.

2.Dunia Maya Rame Pengguna, Tapi Soal Percaya Masih Pikir-Pikir


Kata konsumen, media sosial itu sumber yang paling nggak mereka percaya buat mutusin mau beli apa. Tapi, justru di situlah mereka ngobrol sama keluarga dan teman, yang jadi sumber paling tepercaya mereka. Jadi, walaupun orang nggak langsung percaya sama iklan di medsos, tetap aja medsos itu diam-diam ngaruh ke keputusan beli dan pandangan mereka soal suatu merek.Di Eropa dan Amerika, orang lebih percaya omongan keluarga dan teman daripada rekomendasi dari medsos. Di Tiongkok juga sama, keluarga dan teman paling didengar, tapi mereka juga ngaku kalau medsos dan ulasan online itu ngaruh.

Gimana di Indonesia? Nah, kalau di Indonesia, pengaruh influencer, Key Opinion Leaders (KOL), dan ulasan online (misalnya di marketplace atau forum) itu gede banget! Meskipun teman dan keluarga tetap nomor satu, rekomendasi dari selebgram atau "testimoni jujur" dari pengguna lain sering jadi penentu, apalagi buat produk baru. Survei McKinsey nunjukin orang makin sering riset produk di medsos (rata-rata 32%, naik dari 27% di 2023). Di negara berkembang kayak India, separuh konsumennya ngecek medsos dulu sebelum beli. Tantangannya buat kita para pebisnis? Gimana caranya bikin pesan promosi yang terasa asli dan personal di semua platform itu.

3.Anak Muda Gen Z Udah Gede, Dompetnya Juga Makin Oke!


Paham sama maunya Gen Z (yang lahir antara 1996-2010) dan cara mereka belanja itu kunci emas buat merek dan toko kita. Mereka ini katanya bakal jadi generasi paling banyak jumlahnya dan paling kaya sepanjang sejarah. Pengeluaran Gen Z naiknya dua kali lebih cepat dibanding generasi sebelumnya di umur yang sama, dan diprediksi bakal ngalahin pengeluaran baby boomer di seluruh dunia tahun 2029.Gen Z ini generasi pertama yang dari kecil udah kenal internet dan pas remajanya ngalamin pandemi. Pengalaman ini bikin cara pandang mereka soal "dewasa" itu beda. Buat mereka, sukses itu lebih ke soal aman secara finansial, kayak punya karier bagus dan banyak duit. Secara umum, Gen Z lebih optimis soal isu sosial, tapi kurang yakin harga-harga bakal stabil atau turun. Sekitar 40% Gen Z di Jerman, Inggris, dan AS khawatir soal masa depan keuangan mereka.Tapi, walaupun kantongnya mungkin pas-pasan, Gen Z ini paling doyan splurge alias belanja barang mewah atau yang lagi ngetren, dan nggak takut ngutang. Di Tiongkok, Jerman, Inggris, dan AS, 34% Gen Z berani beli barang pake kredit, ini lebih tinggi 13% dibanding generasi lain. Jadi, merek kita harus bisa bikin produk atau pengalaman yang menurut Gen Z "layak dibeli mahal" (biasanya karena lagi viral atau direkomendasiin banyak orang). Gen Z biasanya splurge buat baju (34%) dan produk kecantikan (29%).

Gimana di Indonesia? Gen Z di Indonesia itu buanyak banget dan makin melek teknologi. Mereka ini "anak digital" sejati. Walaupun mungkin ada yang jadi "generasi sandwich" (nanggung biaya hidup orang tua dan anak), mereka nggak ragu keluar duit buat hal yang dianggap penting, kayak pengalaman (misalnya nonton konser, liburan "healing"), produk yang nunjukin jati diri, atau sekadar ikut tren. Layanan PayLater juga laku keras di kalangan mereka. Lebih dari seperempat Gen Z di survei pakai layanan BNPL, apalagi di Tiongkok (40%), India (38%), Uni Emirat Arab (36%), dan Australia (35%) [1]. Mereka juga rela bayar lebih buat kenyamanan, makanya sering pakai jasa antar makanan dan belanjaan [1]. Jadi, siap-siap aja, Gen Z ini yang bakal nentuin tren konsumen ke depan.

4.Produk Lokal Makin di Hati, Kalahkan Produk Global?


Lima tahun belakangan ini, merek-merek baru yang "mengganggu" pasar mulai nyaingin merek global yang udah gede. Tren ini makin kelihatan di 2025: seiring aturan dagang global baru dan perubahan yang terus terjadi, konsumen makin nunjukin kalau mereka lebih suka beli produk dari negara sendiri. Di seluruh dunia, 47% konsumen bilang perusahaan lokal itu penting buat keputusan beli mereka. Di Kanada dan AS, orang makin getol milih merek lokal dibanding awal 2025 .Kenapa sih orang lebih suka merek lokal? Sebanyak 36% bilang mau dukung bisnis dalam negeri. Buat 20%, merek lokal lebih pas sama kebutuhan mereka. Cuma 13% yang bilang merek lokal lebih murah .

Gimana di Indonesia? Semangat "Cinta Produk Indonesia" atau "Bangga Buatan Indonesia" itu nggak pernah mati! Konsumen kita makin ngehargain produk lokal yang kualitasnya bagus dan punya cerita unik. Banyak UMKM lokal yang sukses naik kelas gara-gara dukungan konsumen dan jualan online. Ini peluang emas buat merek lokal buat makin kuat, tapi juga tantangan buat merek global biar tetap nyambung sama selera dan nilai-nilai lokal. Contohnya di Tiongkok, enam dari sepuluh merek kecantikan yang pasarnya paling cepat tumbuh sejak 2020 itu merek Tiongkok (padahal dulu cuma dua dari sepuluh merek di rentang waktu 2015-2020).

5.Konsumen Makin Pintar Ngatur Duit, "Untung" Nggak Cuma Soal Murah!


Harga naik terus jadi biang keladi kekhawatiran nomor satu konsumen di 18 negara yang disurvei McKinsey. Gara-gara ini, konsumen jadi trading down (pindah ke produk/merek yang lebih murah), tapi caranya kadang nggak ketebak dan bisa lintas kategori produk, nggak cuma di satu jenis produk aja.Di seluruh dunia, 79% konsumen trading down, tapi nggak selalu berarti mereka beli barang lebih sedikit atau cuma cari diskon di toko murah (walaupun ini masih sering dilakuin). Malah, lebih dari separuh konsumen di berbagai negara bilang mereka selalu cari promo buat setiap pembelian, dan sekitar 49% konsumen AS berencana nunda belanjaan buat tiga bulan ke depan. Trading down lintas kategori—irit di satu pos pengeluaran biar bisa boros di pos lain—makin sering terjadi. Di awal 2025, lebih dari sepertiga konsumen bilang mereka ngirit di satu kategori tapi berencana foya-foya di kategori lain. Yang lebih kaget lagi, 19% konsumen di seluruh dunia berencana ngurangin belanja kebutuhan pokok tapi malah mau boros buat barang-barang yang sifatnya keinginan atau gaya hidup.

Gimana di Indonesia? Konsumen Indonesia itu terkenal jago cari "cuan". Mereka lihai berburu promo, diskon, cashback, dan manfaatin flash sale. Tapi, ini bukan berarti mereka selalu pilih yang paling murah lho. Banyak yang rela nabung atau ngirit di satu hal biar bisa splurge buat hal lain yang dianggap lebih ngasih kepuasan, misalnya buat liburan, gadget idaman, atau baju model terbaru. Bahkan yang lagi khawatir harga naik pun, sepertiganya masih niat buat belanja barang mewah atau yang lagi diinginkan. Ini nunjukin kalau "untung" buat konsumen zaman now itu nggak cuma soal harga murah, tapi juga kualitas, pengalaman, kenyamanan, bahkan gengsi.

Empat Jurus Jitu Biar Bisnis Kita Tetap Juara

Nah, ngeliat kelakuan konsumen yang kayak gini, McKinsey ngasih empat saran penting buat kita para pebisnis:

  1. Kenali Pelanggan Lebih Dalam Lagi: Isi hati konsumen udah nggak segampang dulu ditebak dari cara mereka belanja. Kita butuh ngertiin konsumen kita dari A sampai Z biar bisa ambil keputusan yang pas. Caranya? Manfaatin teknologi kayak AI buat "nguping" obrolan di medsos dan kumpulin data perilaku konsumen dari website atau toko kita sendiri.
  2. Poles Lagi Strategi Harga dan Promo (Manajemen Pertumbuhan Pendapatan/RGM): Konsumen makin sadar harga dan doyan promo. Mereka juga makin pintar banding-bandingin. Jadi, penting banget buat nawarin produk yang pas, dengan harga yang pas, di waktu yang pas. Ini termasuk pakai data buat nentuin harga, ngatur syarat dagang sama distributor, dan rutin ngecek produk mana yang laku dan mana yang nggak.
  3. Pilih-Pilih Produk yang Dijual Biar Makin Cuan: Karena banyak merek baru bermunculan, tren cepat berubah, dan konsumen susah ditebak, kita harus fokus cari sumber pertumbuhan baru. Jangan takut buat beli perusahaan lain (M&A) atau jual bagian bisnis yang kurang oke (divestasi). Targetnya, 20-30% pendapatan baru itu datang dari portofolio produk yang diubah-ubah tiap sepuluh tahun. Jualan online (e-commerce) bakal jadi medan perang utama.
  4. Upgrade Kemampuan Teknologi Bisnis Kita: Biar semua jurus di atas manjur, kita harus rombak kemampuan teknologi kita, termasuk cara kerja tim biar bisa maksimalin investasi teknologi. Dari banyak banget kegunaan AI buat bisnis, yang paling penting itu buat ngertiin maunya konsumen, ngatur permintaan, dan ngelola hubungan sama pelanggan dan saluran penjualan.

Terus, Buat Bisnis di Indonesia Gimana Dong?

Perubahan kelakuan konsumen ini udah pasti terjadi, nggak bisa dihindari. Buat Matasigma dan semua pebisnis di Indonesia, ini artinya kita nggak bisa lagi pakai cara-cara lama. Kita harus:

  • Gesit dan Cepat Beradaptasi: Harus bisa cepat tanggap sama perubahan tren dan maunya konsumen. Jangan kaku!
  • Fokus ke Pelanggan (Customer-Centric): Benar-benar pahami apa yang dibutuhin, diinginin, dan jadi masalah buat pelanggan kita. Kumpulin data, dengerin masukan mereka. Pakai teknologi kayak AI buat "ngintip" apa kata mereka di medsos dan analisis data belanja mereka.
  • Terus Berinovasi: Jangan berhenti ciptain produk, layanan, atau cara baru buat deketin konsumen. Ini termasuk model bisnis baru kayak social commerce (jualan lewat medsos) yang lagi naik daun.
  • Bikin Pengalaman Digital yang Mulus: Pastikan pelanggan kita nyaman dan gampang kalau mau transaksi atau cari info online, di platform manapun.
  • Bangun Kepercayaan: Di tengah banjir informasi, kepercayaan itu mahal harganya. Jadi, ngomong apa adanya, jujur, dan konsisten itu penting banget.
  • Pahami Selera Lokal: Buat merek global, penting buat "Indonesiain" produknya. Buat merek lokal, ini kesempatan emas buat makin dicintai konsumen dalam negeri.
  • Cerdas Atur Harga dan Promo: Konsumen cari yang paling "worth it". Ini bukan cuma soal murah, tapi gabungan harga, kualitas, kenyamanan, dan pengalaman yang pas. Pakai data buat bikin strategi harga dan promo yang cerdas.

Zaman konsumen yang maunya serba "disrupsi" ini memang banyak tantangannya, tapi juga banyak banget peluangnya buat bisnis yang mau belajar, berubah, dan berinovasi. Dengan ngertiin semua ini, kita bisa lebih siap buat nggak cuma bertahan, tapi juga makin maju dan jadi juaranya di hati konsumen.

Bagaimana Matasigma Dapat Membantu Bisnis Anda Tetap Gesit Mengikuti Selera Konsumen?

Memahami konsumen yang terus berubah memang bukan perkara mudah, apalagi harus menerjemahkannya menjadi aksi nyata yang cepat dan tepat. Di sinilah Matasigma hadir sebagai mitra strategis Anda. Kami percaya bahwa setiap bisnis, besar maupun kecil, punya potensi untuk terus relevan jika didukung oleh pemahaman pasar yang kuat dan strategi yang adaptif.

Berikut beberapa cara bagaimana Matasigma dapat membantu perusahaan Anda:

  1. Menggali Wawasan Konsumen yang Mendalam: Kami membantu Anda menggali lebih dalam siapa konsumen Anda melalui analisis data pasar terkini, riset konsumen yang relevan, hingga pemanfaatan social listening. Dengan begitu, Anda tidak hanya 'menebak', tapi benar-benar tahu apa yang mereka inginkan, bagaimana perilaku mereka berubah, dan apa pemicu keputusan pembelian mereka.
  2. Merancang Strategi Pemasaran dan Penjualan yang Adaptif: Dari pemahaman konsumen tersebut, kami membantu merancang strategi pemasaran dan penjualan yang lebih tajam dan relevan. Ini mencakup optimalisasi kanal digital yang tepat, pengembangan konten yang menarik dan sesuai tren, hingga perumusan strategi promosi dan penetapan harga yang efektif untuk menjangkau target pasar yang tepat di saat yang tepat, bahkan ketika selera mereka berubah dengan cepat.
  3. Mendukung Inovasi dan Penyesuaian Produk/Layanan: Selera konsumen berubah, artinya produk dan layanan Anda pun perlu beradaptasi atau bahkan berinovasi. Matasigma dapat mendampingi dalam proses identifikasi peluang inovasi, evaluasi kelayakan ide baru dari sisi bisnis dan finansial, hingga penyesuaian portofolio produk/layanan agar selalu 'klik' dengan kebutuhan pasar yang dinamis.
  4. Optimalisasi Keuangan untuk Mendukung Perubahan: Setiap perubahan strategis, baik itu peluncuran produk baru, masuk ke pasar baru, atau perubahan model bisnis, pasti ada implikasi keuangannya. Kami membantu Anda menganalisis aspek keuangan dari setiap perubahan, memastikan efisiensi biaya, mengelola arus kas dengan baik, dan mengoptimalkan alokasi anggaran agar setiap langkah perubahan yang diambil memberikan hasil maksimal dan berkelanjutan.
  5. Pendampingan dan Konsultasi Berkelanjutan: Perubahan di pasar konsumen adalah proses yang tidak pernah berhenti. Matasigma siap menjadi rekan diskusi dan pendamping jangka panjang Anda, membantu memantau tren pasar, mengevaluasi efektivitas strategi yang berjalan, dan melakukan penyesuaian berkelanjutan agar bisnis Anda tidak hanya bertahan, tapi selalu selangkah di depan kompetisi.

Jangan biarkan perubahan pasar yang cepat membuat bisnis Anda tertinggal. Mari berdiskusi lebih lanjut bagaimana Matasigma dapat mendukung transformasi bisnis Anda untuk terus relevan, gesit, dan bertumbuh di era konsumen yang serba dinamis ini!

Semangat terus buat kita semua!