Memahami Aturan Perpajakan Persediaan: Kenapa LIFO Tidak Diizinkan?

Nah, dalam artikel ini kita akan membahas tentang pentingnya memahami metode pencatatan persediaan, khususnya mengapa metode LIFO tidak diperbolehkan di Indonesia, lengkap dengan contoh kasus perhitungan.

Memahami Aturan Perpajakan Persediaan: Kenapa LIFO Tidak Diizinkan?
Photo by Al ghazali / Unsplash

Halo semuanya, para pebisnis dan calon pebisnis hebat!

Pernahkah kamu berpikir bagaimana cara mengelola stok barang di usahamu agar lebih efisien dan aman dari sisi perpajakan?

Siapa sih yang nggak butuh stok barang, apalagi buat pengusaha? Ya, persediaan itu kayak bahan baku, barang yang lagi diproses, atau barang jadi yang siap dijual. Pokoknya semua yang disimpan buat keperluan bisnis.

Nah biar nggak bingung, perusahaan butuh sistem buat ngitung stok barang ini. Ada beberapa cara, namanya metode rata-rata, FIFO (First In First Out), sama LIFO (Last In First Out).

Tapi nih yang penting, di Indonesia cuma dua metode yang boleh dipakai: rata-rata sama FIFO. Ini aturan dari UU Pajak Penghasilan.

  • FIFO (Masuk Duluan, Keluar Duluan): Ini kayak ngelakuin sistem antrean. Barang yang masuk duluan yang dijual duluan. Sederhana kan?
  • Metode Rata-rata: Ini yang namanya dihitung rata-rata. Jadi semua harga barang dijumlahin terus dibagi berapa jumlah barangnya.

Ada juga metode LIFO (Masuk Terakhir, Keluar Duluan), tapi metode ini ternyata nggak boleh dipake di Indonesia dan juga di banyak negara lain. Soalnya bisa bikin laporan keuangan jadi nggak akurat dan perusahaan bisa main-main sama pajak!

Kenapa sih metode LIFO dilarang? Karena bisa bikin nilai stok barang di laporan keuangan nggak akurat. Bayangin aja, nilai stok barang di neraca jadi kayak barang yang udah lama, padahal yang ada sekarang beda harganya.

Trus buat pajak, kalau pakai LIFO suka bikin perusahaan bayar pajak lebih kecil karena keuntungannya jadi kecil juga. Ini bisa merugikan negara dong!

Contoh Kasus Perhitungan bagi Pajak

Bayangkan kamu punya toko kue. Di awal bulan, kamu beli 100 kg tepung terigu dengan harga Rp10.000/kg. Tengah bulan, kamu beli lagi 100 kg tepung terigu tapi harganya naik jadi Rp12.000/kg.

Pada akhir bulan, kamu jual 150 kg tepung terigu.

Perhitungan dengan metode FIFO:

  • Kamu jual dulu tepung terigu yang dibeli di awal bulan, 100kg x Rp10.000 = Rp1.000.000
  • Lalu kamu jual tepung terigu yang dibeli tengah bulan, 50 kg x Rp12.000 = Rp600.000
  • Total penjualan: Rp1.000.000 + Rp600.000 = Rp1.600.000
  • Nilai persediaan akhir: 50 kg x Rp12.000 = Rp600.000

Perhitungan dengan metode LIFO:

  • Kamu jual dulu tepung terigu yang dibeli tengah bulan, 100 kg x Rp12.000 = Rp1.200.000
  • Lalu kamu jual tepung terigu yang dibeli di awal bulan, 50 kg x Rp10.000 = Rp500.000
  • Total penjualan: Rp1.200.000 + Rp500.000 = Rp1.700.000
  • Nilai persediaan akhir: 0
  • (Karena semua persediaan sudah terjual)

Kesimpulan:

  • Lihat deh, dengan Metode LIFO , nilai penjualan kamu lebih tinggi (Rp1.700.000) dibandingkan FIFO (Rp1.600.000). Ini karena kamu "mencatat" penjualan dengan harga yang lebih baru.
  • Meskipun untung terlihat lebih besar dengan LIFO, tapi nilai persediaan akhir kamu jadi nol . Artinya: laporan keuangan kamu nggak mencerminkan harga terkini dari barang yang kamu miliki.

Kenapa ini jadi masalah?

  1. Laporan keuangan jadi nggak akurat: Nilai persediaan yang kamu laporkan di neraca jadi nggak sesuai dengan aslinya.
  2. Potensi manipulasi pajak: Karena LIFO bisa bikin keuntungan terlihat lebih besar, perusahaan bisa membayar pajak lebih sedikit. Ini kurang adil buat perusahaan lain yang patuh aturan.

Makanya, buat bisnis di Indonesia, usahakan pakai metode FIFO atau rata-rata ya. Lebih simpel dan aman!


Semoga ini lebih mudah dipahami ya.

Kalau ada pertanyaan lain, jangan ragu untuk bertanya!