Mengapa Pungutan Liar dan Premanisme Sulit Dimusnahkan di Indonesia?

Praktik pungli dan premanisme menjadi ancaman serius bagi dunia usaha di Indonesia, dengan kerugian hingga ratusan triliun rupiah. Akar sejarahnya dalam budaya korupsi membuat pemberantasan semakin sulit

Dalam era modern yang mengedepankan transparansi dan akuntabilitas, praktik pungutan liar (pungli) dan premanisme tetap menjadi ancaman serius bagi dunia usaha di Indonesia. Fenomena ini tidak hanya merugikan pelaku usaha, tetapi juga menunjukkan betapa sulitnya membasmi budaya korupsi yang sudah mendarah daging dalam sistem sosial dan ekonomi negara kita. Artikel ini akan membahas sejarah panjang pungli serta premanisme, dampaknya terhadap dunia usaha, dan tantangan dalam memberantas kebiasaan buruk ini.


Sejarah Panjang Pungli dan Premanisme

Pungutan liar bukanlah fenomena baru di Indonesia. Sejarawan Onghokham dalam bukunya Wahyu yang Hilang, Negeri yang Guncang (2003) menjelaskan bahwa praktik pungli sudah ada sejak zaman kerajaan kuno seperti Majapahit, Mataram, hingga kesultanan-kesultanan lainnya di kepulauan Nusantara. Awal mula pungli bermula dari kebijakan raja yang tidak memberikan gaji kepada para pejabat. Sebagai gantinya, pejabat diberi tanah, petani, atau hak-hak khusus untuk memungut pajak. Namun, pemberian tersebut sering kali tidak cukup memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka.

Untuk mencukupi kekurangan itu, para pejabat mulai menarik biaya tambahan secara ilegal dari rakyat. Staf atau pegawai mereka pun melakukan hal serupa demi memenuhi kebutuhan hidup. Misalnya, seorang pelayan bupati sering menerima uang dari orang-orang yang ingin mendapatkan jabatan tertentu. Bupati sendiri juga tak jarang meminta "jatah" kepada pedagang di pasar. Bahkan, ada cerita bahwa beberapa pejabat daerah lebih kaya daripada raja mereka sendiri karena kebiasaan ini.

Tradisi ini berlanjut bahkan setelah runtuhnya kerajaan-kerajaan tradisional. Dalam masa kolonial Belanda, praktik serupa masih eksis melalui sistem "quitrent" atau sewa tanah yang tidak adil bagi petani pribumi. Setelah kemerdekaan, pola pemerasan ini bertransformasi menjadi bentuk-bentuk lain seperti suap, sogokan, hingga pungli yang kita kenal saat ini.

Selain faktor historis, budaya korupsi juga dipengaruhi oleh konteks politik Orde Baru. Rezim Soeharto menggunakan kelompok-kelompok preman sebagai alat politik untuk memperkuat kekuasaannya. Satu kelompok ormas yang mengatasnamakan kelompok pemuda yang sampai saat sekarang ini masih eksis dan terkenal, direkrut sebagai "kekuatan cadangan" yang digunakan untuk mengintimidasi oposisi atau kelompok yang dinilai mengancam rezim. Setelah reformasi 1998, meskipun demokrasi tumbuh, praktik premanisme justru semakin marak karena hilangnya kontrol pusat atas aktivitas ormas.

Menurut penelitian oleh Rismawati Rismawati dan Yuraini Yuraini dalam jurnal ilmiah mereka, fenomena pungli dan premanisme semakin parah karena kurangnya regulasi yang tegas serta lemahnya penegakan hukum. Praktik ini kemudian berkembang menjadi bagian dari gray economy, yaitu sektor ekonomi informal yang tidak tercatat secara resmi namun memiliki pengaruh besar terhadap perekonomian nasional.


Dampak Pungli dan Premanisme terhadap Dunia Usaha

Praktik pungli dan premanisme telah menjadi momok bagi dunia usaha di Indonesia. Menurut Ketua Umum Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Hariyadi Sukamdani, banyak pengusaha merasa resah karena harus mengeluarkan biaya tambahan dalam jumlah besar hanya untuk mendapatkan "ketenangan" dalam menjalankan bisnis. Nominal pungutan ini bisa mencapai ratusan juta rupiah, tergantung skala proyek atau lokasi usaha.

Ketua Himpunan Kawasan Industri (HKI), Sanny Iskandar, menyebutkan bahwa kerugian akibat aktivitas ormas di kawasan industri mencapai ratusan triliun rupiah. Kerugian ini tidak hanya datang dari biaya tambahan yang dibebankan kepada pengusaha, tetapi juga dari investasi yang batal masuk ke Indonesia karena ketidakpastian lingkungan bisnis. Contohnya, sebuah pabrik tekstil asal Korea Selatan di Karawang harus menghentikan operasi setelah menghadapi ancaman pembakaran oleh ormas lokal yang mengatasnamakan diri sebagai "putra daerah".

Di sektor kecil, para pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) juga menjadi korban utama. Mereka sering dipaksa membayar "uang keamanan" kepada ormas agar dapat berdagang dengan aman. Di Jakarta, misalnya, parkir ilegal yang dikelola oleh ormas menghasilkan pendapatan hingga Rp460 miliar per tahun. Juru parkir liar di kawasan Monas dan Tanah Abang bahkan wajib menyetor antara Rp200 ribu hingga Rp500 ribu per hari kepada ormas tertentu.

Efek dari praktik ini sangat merugikan. Pertama, biaya tambahan membuat harga produk meningkat, sehingga daya saing produk-produk lokal menjadi lebih rendah dibandingkan dengan produk impor. Kedua, ketidakpastian bisnis membuat investor asing enggan masuk ke Indonesia. Ketiga, UMKM yang merupakan tulang punggung ekonomi nasional menjadi semakin tertekan karena tidak memiliki daya tawar yang kuat terhadap pihak-pihak preman.

Data dari Kementerian Perindustrian menunjukkan bahwa kerugian akibat pungli dan premanisme tidak hanya terbatas pada biaya langsung yang dikeluarkan oleh pengusaha, tetapi juga mencakup kerugian potensial dari investasi yang gagal masuk. Total kerugian ini diperkirakan mencapai ratusan triliun rupiah per tahun. Dengan kata lain, gray economy yang diakibatkan oleh pungli dan premanisme telah merusak fondasi perekonomian nasional.


Tantangan dalam Memberantas Pungli dan Premanisme

Meski pemerintah telah menetapkan berbagai kebijakan untuk membasmi pungli dan premanisme, implementasinya masih jauh dari harapan. Berikut adalah beberapa tantangan utama:

  1. Keterlibatan Elit Politik
    Beberapa ormas diduga memiliki hubungan dekat dengan elit politik atau aparat keamanan. Hal ini membuat mereka merasa aman dari hukum karena adanya perlindungan dari oknum tertentu. Contohnya, kasus razia lapak ilegal di Pasar Kosambi Bandung yang melibatkan mantan anggota DPRD sebagai donatur ormas.
  2. Ketidaktegasan Penegak Hukum
    Lemahnya penegakan hukum menjadi penyebab utama sulitnya membasmi pungli dan premanisme. UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas dan regulasi lainnya sering kali tidak diterapkan secara konsisten. Akibatnya, ormas tetap bebas beroperasi tanpa rasa takut terhadap hukum.
  3. Kurangnya Kesadaran Masyarakat
    Salah satu alasan pungli dan premanisme sulit dimusnahkan adalah karena masyarakat kadang menganggapnya sebagai hal yang lumrah. Budaya ini sudah begitu dalam akarnya sehingga sulit untuk diubah dalam waktu singkat. Misalnya, banyak pengusaha yang memilih membayar uang "perlindungan" daripada melapor ke aparat penegak hukum karena takut akan pembalasan.
  4. Kompleksitas Struktur Ekonomi
    Di banyak daerah, ormas menjadi bagian dari struktur ekonomi informal. Mereka menguasai sektor-sektor penting seperti transportasi, parkir, dan distribusi barang. Penghapusan mereka secara tiba-tiba dapat menyebabkan gejolak sosial jika tidak ditangani dengan hati-hati.
  5. Kesempatan Rent Seeking
    Adanya celah dalam regulasi dan prosedur administrasi memberikan ruang bagi ormas untuk melakukan rent seeking—mengambil keuntungan tanpa memberikan nilai tambah nyata bagi masyarakat. Contoh nyata adalah kasus pungutan liar di Pelabuhan Tanjung Priok, di mana supir truk dipaksa membayar Rp5.000–Rp15.000 untuk mempercepat proses bongkar muat barang.

Solusi yang Dapat Dilakukan

Agar Indonesia bisa lepas dari jerat pungli dan premanisme, langkah-langkah berikut perlu dilakukan:

  1. Penguatan Regulasi
    Revisi UU Ormas harus dilakukan dengan memasukkan klausul anti-monopoli dan mekanisme audit keuangan organisasi. Regulasi yang jelas akan memberikan landasan hukum yang kuat bagi penegak hukum untuk bertindak.
  2. Penegakan Hukum yang Tegas
    Operasi gabungan TNI-Polri harus dilakukan secara konsisten untuk menangkap aktor intelektual di balik praktik pungli dan premanisme. Hukuman mati bagi pelaku utama dapat dipertimbangkan sebagai langkah ekstrem untuk memberikan efek jera.
  3. Peningkatan Kesadaran Masyarakat
    Edukasi tentang bahaya pungli dan premanisme harus dilakukan secara masif melalui media massa dan program pemerintah. Masyarakat harus diajak untuk tidak terlibat dalam praktik ini dan melaporkan setiap kasus yang ditemukan.
  4. Redistribusi Akses Ekonomi
    Pemerintah harus merancang kebijakan yang memberikan akses ekonomi kepada masyarakat miskin perkotaan sebagai alternatif dari layanan "proteksi" yang selama ini diberikan oleh ormas. Ini akan mengurangi kebutuhan masyarakat untuk bergantung pada ormas.
  5. Transparansi Sistem Administrasi
    Implementasi teknologi seperti blockchain dapat digunakan untuk mengaudit transaksi keuangan di sektor publik dan swasta. Transparansi ini akan meminimalkan ruang gerak bagi pihak-pihak yang ingin melakukan praktik korupsi.

Akhir Kata

Pungli dan premanisme adalah luka lama yang terus menggerogoti perekonomian Indonesia. Budaya ini tidak hanya merugikan pengusaha, tetapi juga menghambat pertumbuhan ekonomi nasional. Untuk menghapusnya sepenuhnya, diperlukan komitmen bersama dari pemerintah, aparat penegak hukum, dan masyarakat umum.

Saat ini, Indonesia berada di titik kritis. Jika tidak segera ditangani, gray economy yang disebabkan oleh pungli dan premanisme akan terus berkembang, mengancam stabilitas ekonomi dan sosial bangsa. Langkah-langkah radikal seperti operasi militer terbatas di kawasan industri yang dikuasai preman mungkin perlu dipertimbangkan, meskipun harus diiringi dengan prinsip keadilan dan transparansi.

Mari kita sama-sama berjuang untuk menciptakan lingkungan bisnis yang bersih dan adil. Negara ini milik kita semua, dan masa depan generasi mendatang bergantung pada tindakan yang kita ambil hari ini. Semoga Indonesia bisa lepas dari jeratan pungli dan premanisme, menuju era baru di mana setiap warga dapat berbisnis dengan tenang dan percaya diri.


Referensi:

  • CNBC Indonesia
  • Tempo.co
  • Kompas.com
  • Jurnal Ilmiah Rechtszekerheid

Artikel ini dibuat dengan tujuan memberikan gambaran lengkap tentang sulitnya membasmi pungli dan premanisme di Indonesia serta solusi yang dapat diambil untuk mengatasinya. Mari kita bersama-sama membangun Indonesia yang lebih baik!