Pahami Depresiasi: Mengapa Aset Lama Bisa Menggerus Keuntungan?
Pernah kepikiran nggak, kenapa sih perusahaan kamu mesti keluar uang buat beli gedung, peralatan, kendaraan, atau furniture? Jawabannya jelas, karena mereka butuh aset itu buat jalanin usahanya. Tapi, tahukah kamu kalau lama-lama nilai aset tersebut bisa turun? Nah, ini dia yang disebut depresiasi.
Depresiasi itu gampangnya kayak gini: semakin lama kamu pakai barang, nilainya biasanya ikut menurun. Pakaian kesayangan yang dulu kamu beli mahal, lama-lama lusuh dan nggak bisa dijual dengan harga yang sama. Nah, konsep yang sama juga berlaku di dunia bisnis.
Misalnya, kamu punya komputer yang kamu beli seharga Rp 10 juta. Komputer tersebut dipakai setiap hari untuk ngurusin keuangan perusahaan. Nah, karena pemakaian terus-menerus, wajar aja kalau kemampuan komputer tersebut bisa menurun. Mungkin performanya jadi lambat, atau komponen tertentu mulai rusak. Akibatnya, nilai komputer tersebut juga ikut turun.
Lalu, apa hubungannya sama laba perusahaan? Menurut aturan akuntansi, penurunan nilai aset akibat pemakaian ini harus dicatat sebagai biaya. Maksudnya gini, perusahaan dianggap "menghabiskan" sebagian nilai komputer tersebut setiap kali dipakai. Nah, biaya ini nantinya mengurangi laba bersih perusahaan.
Kenapa Laba Bisa Turun? Yuk Lihat Contohnya!
Misalnya, komputer yang tadi kita bicarakan punya estimasi umur pemakaian 5 tahun. Jadi, setiap tahun, nilai komputer tersebut dianggap berkurang Rp 2 juta (Rp 10 juta / 5 tahun). Penurunan nilai ini dicatat sebagai biaya depresiasi sebesar Rp 2 juta per tahun.
- Laporan Laba Rugi
- Biaya Depresiasi: Rp 2.000.000
- Laba Bersih Setelah Pajak: Rp 3.000.000 (misalnya)
Meski begitu, ada kabar baiknya! Biaya depresiasi ini sebenarnya bukan pengeluaran tunai. Maksudnya, perusahaan nggak perlu mengeluarkan uang cash Rp 2 juta setiap tahunnya. Nah, inilah yang bikin depresiasi dianggap sebagai "non-cash expense".
Lalu, uangnya kemana?
Uang yang tadinya buat beli komputer (Rp 10 juta) masih ada di kantong perusahaan. Nah, biaya depresiasi ini nanti "ditambah kembali" ke uang kas perusahaan di laporan arus kas.
Jadi, intinya gimana?
Depresiasi memang mengurangi laba bersih perusahaan di laporan laba rugi. Tapi, karena sifatnya non-cash expense, uangnya nggak benar-benar keluar. Dengan kata lain, depresiasi membantu kita melihat gambaran yang lebih akurat tentang kesehatan keuangan perusahaan.
Kita sudah bahas tentang depresiasi secara umum. Sekarang, saatnya kita kenalan dengan beberapa model atau metode depresiasi yang biasa digunakan, beserta contoh kasus dan perhitungannya.
1. Metode Garis Lurus (Straight-Line Depreciation)
Metode ini paling mudah dan sering digunakan. Di sini, nilai aset dianggap berkurang secara konstan selama masa manfaatnya.
Rumus:
Depresiasi per Tahun = (Harga Perolehan - Nilai Sisa) / Masa Manfaat
Contoh Kasus:
Sebuah mesin dibeli dengan harga Rp 50 juta dan memiliki nilai sisa Rp 10 juta. Masa manfaat mesin tersebut adalah 5 tahun. Berapakah depresiasi per tahunnya?
Depresiasi per Tahun = (Rp 50 juta - Rp 10 juta) / 5 tahun = Rp 8 juta
2. Metode Saldo Menurun Ganda (Double Declining Balance Depreciation)
Metode ini menganggap bahwa nilai aset berkurang lebih cepat di awal masa pakainya dibandingkan di akhir masa pakainya.
Rumus:
Depresiasi Tahun Pertama = 2 x (Harga Perolehan - Nilai Sisa) / Masa Manfaat Depresiasi Tahun Berikutnya = Saldo Buku Tahun Sebelumnya x (Depresiasi Tahun Pertama / Saldo Buku Awal)
Contoh Kasus:
Mesin yang sama dengan contoh sebelumnya digunakan dengan metode saldo menurun ganda. Berapakah depresiasi per tahunnya?
Tahun | Saldo Buku Awal | Depresiasi | Saldo Buku Akhir |
---|---|---|---|
1 | Rp 50 juta | Rp 20 juta | Rp 30 juta |
2 | Rp 30 juta | Rp 12 juta | Rp 18 juta |
3 | Rp 18 juta | Rp 7.2 juta | Rp 10.8 juta |
4 | Rp 10.8 juta | Rp 4.32 juta | Rp 6.48 juta |
5 | Rp 6.48 juta | Rp 2.592 juta | Rp 3.888 juta |
3. Metode Unit Produksi (Units of Production Depreciation)
Metode ini menghubungkan depresiasi dengan jumlah unit produksi yang dihasilkan aset tersebut.
Rumus:
Depresiasi per Unit = (Harga Perolehan - Nilai Sisa) / Total Unit Produksi yang Diperkirakan
Depresiasi per Tahun = Depresiasi per Unit x Jumlah Unit Produksi Tahun Ini
Contoh Kasus:
Mesin yang sama dengan contoh sebelumnya diprediksi dapat menghasilkan 100.000 unit selama masa pakainya. Pada tahun pertama, mesin tersebut menghasilkan 20.000 unit. Berapakah depresiasi pada tahun pertama?
Depresiasi per Unit = (Rp 50 juta - Rp 10 juta) / 100.000 unit = Rp 0.4 per unit Depresiasi Tahun Pertama = Rp 0.4 per unit x 20.000 unit = Rp 8 juta
Penutup
Pemilihan metode depresiasi yang tepat tergantung pada jenis aset, pola pemakaiannya, dan tujuan perusahaan.
Catatan:
- Blog ini hanya membahas konsep dasar depresiasi. Masih banyak hal lain yang perlu dipelajari tentang depresiasi, seperti metode depresiasi lainnya, dan dampak pajak dari depresiasi.
- Perhitungan depresiasi dalam contoh kasus di atas hanya untuk ilustrasi. Dalam praktiknya, perusahaan menggunakan software akuntansi untuk menghitung depresiasi secara otomatis.
Semoga blog ini membantu kamu memahami depresiasi dengan lebih baik!
Comments ()