5 Mitos tentang Cara Kerja Startup yang Harus Diketahui Para Pendiri

Banyak mitos tentang startup yang perlu diluruskan, seperti harus skala besar sejak awal atau produk harus sempurna sebelum diluncurkan. Padahal, fokus utama adalah memvalidasi ide dan melayani pelanggan, meski dengan cara yang sederhana dan manual.

Startup itu bukan perusahaan besar. Jadi, cara kerjanya juga beda. Sayangnya, masih banyak mitos yang bikin para pendiri bingung atau malah jalan di tempat karena terlalu sibuk mikirin hal-hal yang sebenarnya belum penting.

Berikut beberapa mitos umum tentang cara kerja startup yang sering salah kaprah — dan kenapa kamu harus berani melanggar aturan itu.


1. “Startup Harus Bisa Di Gedein atau Di Skala kan Sejak Awal” – Ini Gak Ada Maknanya

Dulu, banyak investor dan pendiri percaya bahwa startup harus punya infrastruktur dan model bisnis yang bisa langsung skala besar. Padahal, kalau gak ada orang yang pakai produkmu, skalabilitas itu cuma teori kosong.

Paul Graham dari Y Combinator pernah nulis esai legendaris berjudul Do Things That Don’t Scale. Isinya simpel: fokus dulu pada pelanggan pertama, bukan server yang tahan 1 juta pengguna. Kalau memang nanti produkmu laku keras dan server crash, itu masalah bagus. Masalah yang bisa diselesaikan.

Contoh nyata? DoorDash. Di awal, mereka pake Google Form untuk terima pesanan, telepon pendiri sebagai saluran komunikasi, dan Find My Friends buat lacak pengantaran. Gak ada sistem otomatis, gak ada algoritma canggih. Tapi mereka berhasil buktikan ada permintaan


2. “Harus Sempurna Dulu Baru Boleh Launch” – Stop Percaya Itu!

Banyak pendiri takut launching karena takut error, takut kena kritik, atau takut produknya dianggap jelek. Padahal, kesalahan itu normal. Bahkan, justru dari situ kamu belajar.

Bayangkan seperti pipa air yang bocor. Daripada periksa satu-satu, mending langsung nyalakan air dan lihat mana yang bocor. Setelah ketahuan, tinggal perbaiki. Cepat dan efektif. Di dunia startup, cepat gagal itu lebih baik daripada diam tanpa aksi.


3. “Jangan Lakukan Hal Manual” – Padahal Itu Justru Pintu Masuk ke Pasar

Ada anggapan bahwa semua proses harus otomatis dan digital. Padahal, di fase awal, melakukan hal manual itu justru membantu kamu mengerti apa yang dibutuhkan pengguna.

Instacart, misalnya, nggak langsung nego dengan Trader Joe’s atau Whole Foods. Mereka beli barang-barangnya, foto sendiri, catat harganya, lalu upload ke situs mereka. Prosesnya ribet dan gak bisa di skala kan, tapi berhasil buktikan bahwa orang benar-benar butuh layanan semacam itu.


4. “Harus Formal dan Profesional Terus” – Gak Perlu! Yang Penting Bisa Action

Banyak pendiri yang datang dari perusahaan besar bawa pola pikir korporat ke startup. Mereka ingin SOP lengkap, dokumen rencana kerja setebal kamus, dan meeting tiap hari.

Padahal, startup itu justru butuh fleksibilitas. Pendiri harus rela turun tangan, kirim email dingin, telpon calon pelanggan, bahkan urus administrasi sendiri. Nggak ada tugas yang “di bawah martabat” selama itu demi mendekatkan kamu ke pelanggan dan validasi produk.


5. “Revenue = Sukses” – Belum Tentu, Lho!

Beberapa startup terjebak dalam mindset bahwa pendapatan adalah indikator utama keberhasilan. Mereka pun lebih suka ambil proyek konsultasi atau layanan berbayar lain yang cepat dapat uang, meskipun itu gak bisa dikembangkan secara luas.

Masalahnya, jenis pendapatan ini bisa bikin kamu lupa tujuan utama: menciptakan produk yang bisa dipakai oleh banyak orang. Fokus harus tetap pada validasi produk dan pertumbuhan jangka panjang, bukan hanya angka pendapatan bulanan.


Kesimpulan

Startup itu soal eksperimen, adaptasi, dan belajar cepat. Kamu harus berani melakukan hal-hal yang tampaknya tidak efisien, tidak profesional, atau bahkan tidak bisa skala — selama itu membantu kamu memvalidasi ide dan menemukan product-market fit.

Scalability itu penting, tapi waktunya nanti. Di fase awal, yang lebih penting adalah fokus pada masalah nyata dan memberikan nilai kepada pengguna secepat mungkin.