Tax 101: Panduan Pemula untuk Dokumentasi Transfer Pricing di Indonesia
Memahami transfer pricing di Indonesia: definisi, kewajiban TP Doc, teknik analisis, dan dampak hukum bagi perusahaan multinasional serta afiliasi.
Dalam dunia bisnis global, praktik penetapan harga antar perusahaan dalam satu grup—dikenal sebagai transfer pricing—bukan lagi isu yang bisa diabaikan. Di Indonesia, otoritas pajak semakin ketat mengawasi transaksi afiliasi demi mencegah penghindaran pajak melalui pengalihan laba ke yurisdiksi berpajak rendah. Bagi perusahaan multinasional, grup usaha, maupun akuntan dan konsultan pajak, memahami prinsip transfer pricing bukan hanya soal kepatuhan, tapi juga strategi risiko dan tata kelola keuangan yang sehat.
Artikel ini menyajikan penjelasan mendalam tentang transfer pricing, siapa saja yang wajib memahaminya, mengapa hal ini krusial dalam konteks hukum dan perpajakan Indonesia, serta teknik-teknik analisis yang digunakan dalam praktiknya—semuanya disusun berdasarkan panduan internasional dan regulasi terkini seperti PMK 172/2023.
Poin-Poin Utama yang Akan Dibahas:
- Apa itu transfer pricing dari perspektif perpajakan (bukan akuntansi biaya)?
- Perusahaan seperti apa yang wajib menyusun Transfer Pricing Documentation (TP Doc)?
- Dampak hukum dan finansial jika terjadi koreksi transfer pricing oleh otoritas pajak.
- Teknik dan metode analisis transfer pricing yang diakui di Indonesia.
- Peran strategis akuntan dan profesional keuangan dalam memastikan kepatuhan.
Apa Itu Transfer Pricing? Bukan Sekadar Harga Antar Divisi
Secara sederhana, transfer pricing adalah penetapan harga dalam transaksi antara dua pihak yang memiliki hubungan istimewa, seperti perusahaan induk dan anak perusahaan, atau dua entitas dalam satu grup usaha. Namun, penting dicatat: dalam konteks perpajakan, transfer pricing tidak membahas transaksi antar divisi dalam satu entitas hukum—itu ranah cost accounting. Fokus perpajakan adalah pada transaksi antar entitas hukum yang berbeda, meskipun berada dalam satu grup.
Menurut Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Pajak Penghasilan, hubungan istimewa terjadi jika:
- Terdapat kepemilikan langsung atau tidak langsung minimal 25%,
- Ada penguasaan manajemen atau teknis, atau
- Terdapat hubungan keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus satu derajat.
Contoh : Perusahaan di Indonesia menjual batu bara ke afiliasinya di Singapura dengan harga USD 60/ton, padahal harga pasar adalah USD 80/ton. Selanjutnya, afiliasi di Singapura menjual ke China dengan harga USD 80/ton. Laba besar terjadi di Singapura (dengan tarif pajak 17%), sementara laba di Indonesia (tarif 22%) menjadi kecil. Inilah yang disebut profit shifting—dan menjadi sasaran utama pengawasan transfer pricing.
Prinsip dasar yang dipegang otoritas pajak di seluruh dunia, termasuk Indonesia, adalah arm’s length principle: harga transaksi afiliasi harus sama seperti jika transaksi dilakukan antara pihak independen.
Perusahaan Mana Saja yang Wajib Memahami dan Menyusun TP Doc?
Tidak semua perusahaan wajib menyusun Transfer Pricing Documentation (TP Doc). Namun, jika memenuhi kriteria tertentu berdasarkan PMK 172/2023 dan panduan OECD, kewajiban ini bersifat mutlak. Berikut kriterianya:
1. Dokumen Induk dan Dokumen Lokal
Perusahaan wajib menyusun TP Doc (dokumen induk + dokumen lokal) jika salah satu kondisi berikut terpenuhi berdasarkan data tahun sebelumnya:
- Pendapatan (revenue) melebihi Rp50 miliar, atau
- Transaksi afiliasi barang melebihi Rp20 miliar, atau
- Transaksi afiliasi jasa, pinjaman, royalti, atau lainnya melebihi Rp5 miliar, atau
- Melakukan transaksi dengan pihak di negara berpajak lebih rendah (misalnya Singapura, negara tax haven).
2. Laporan Per Negara (CbCR – Country-by-Country Report)
Wajib disusun oleh Ultimate Parent Entity (UPE) jika total pendapatan konsolidasi grup melebihi €750 juta (sekitar Rp11–12 triliun). Laporan ini berisi alokasi laba, pajak, aset, dan jumlah karyawan di setiap yurisdiksi tempat grup beroperasi.
Siapa yang Menyusun TP Doc?
Secara hukum, wajib pajak bertanggung jawab atas ketersediaan TP Doc. Namun dalam praktik, sebagian besar perusahaan di Indonesia menyerahkan penyusunan kepada konsultan pajak atau akuntan publik karena kompleksitas analisis dan kebutuhan data komparabel.
Mengapa Transfer Pricing Penting? Dampak Koreksi Bisa Menghancurkan Keuangan Perusahaan
Banyak yang mengira koreksi pajak hanya berdampak pada satu jenis pajak. Tapi dalam kasus transfer pricing, dampaknya multi-pajak dan berlapis:
- Koreksi atas laba fiskal → menambah PPh Badan (22%).
- Secondary adjustment → selisih harga dianggap sebagai dividen, sehingga dikenai:
- PPh Pasal 26 (15% untuk luar negeri, atau sesuai tarif perjanjian P3B),
- PPh Pasal 23 (15% untuk dalam negeri).
- PPN → jika transaksi melibatkan barang/jasa kena pajak, koreksi harga juga memengaruhi dasar pengenaan PPN (11%).
- Sanksi administrasi → bunga 2% per bulan (maksimal 48 bulan), atau denda hingga 44% dari pajak kurang bayar.
Contoh perhitungan:
Jika koreksi laba mencapai USD 20 juta (~Rp300 miliar), maka:
- PPh Badan: 22% × Rp300 miliar = Rp66 miliar
- PPh Dividen (PPh 26): 15% × Rp300 miliar = Rp45 miliar
- PPN: 11% × Rp300 miliar = Rp33 miliar
- Sanksi (44%): 44% × (Rp66+45+33) miliar = ±Rp63 miliar
Total potensi kewajiban: hampir Rp207 miliar!
Inilah mengapa transfer pricing bukan hanya urusan pajak—tapi juga manajemen risiko keuangan strategis.
Teknik dan Metode Analisis Transfer Pricing yang Diakui di Indonesia
Indonesia mengadopsi lima metode transfer pricing dari OECD Guidelines. Namun, yang paling umum digunakan adalah Transactional Net Margin Method (TNMM).
1. Metode Perbandingan Harga Tak Bergantung (CUP)
Membandingkan harga transaksi afiliasi dengan harga transaksi serupa antara pihak independen. Cocok untuk komoditas (misalnya batu bara, minyak).
Contoh kasus: PT Batubara Jaya (bukan nama sebenarnya) menjual 1 juta ton batu bara ke afiliasinya di Singapura seharga USD 60/ton. Namun, harga pasar internasional (misalnya berdasarkan indeks Newcastle atau ICE) pada periode yang sama adalah USD 80/ton. Otoritas pajak Indonesia menggunakan metode CUP dengan membandingkan transaksi tersebut terhadap kontrak penjualan serupa antara eksportir Indonesia dan pembeli independen di China. Karena tidak ada perbedaan material dalam kualitas, volume, atau syarat pengiriman, selisih USD 20/ton dianggap tidak wajar—sehingga harga transfer dikoreksi menjadi USD 80/ton.
2. Metode Harga Resale Minus
Digunakan oleh distributor: harga jual ke pihak independen dikurangi margin kotor wajar, menghasilkan harga pembelian yang wajar dari afiliasi.
Contoh: PT Farma Sehat (bukan nama sebenarnya), distributor farmasi di Indonesia, membeli obat generik dari afiliasinya di Swiss seharga USD 8/unit, lalu menjualnya ke apotek independen seharga USD 10/unit. Berdasarkan analisis komparabel terhadap distributor farmasi sejenis di Asia Tenggara, margin kotor wajar untuk jenis produk ini adalah 20%. Maka, harga pembelian wajar = USD 10 – (20% × USD 10) = USD 8. Dalam kasus ini, harga transfer dianggap wajar. Namun, jika PT Farma Sehat membeli dengan harga USD 6, maka akan dikoreksi naik menjadi USD 8.
3. Metode Biaya Plus (Cost Plus)
Biaya produksi ditambah margin laba wajar. Umum digunakan untuk perusahaan manufaktur kontrak.
Contoh kasus: PT Elektronik Kontrak (bukan nama sebenarnya) di Batam memproduksi komponen smartphone berdasarkan pesanan dari perusahaan induk di Korea Selatan. Total biaya produksi per unit adalah USD 50. Berdasarkan benchmarking terhadap perusahaan EMS (Electronics Manufacturing Services) sejenis di Asia Tenggara, margin laba wajar berkisar 8–12%. Jika PT Elektronik Kontrak menagih USD 52/unit (margin 4%), harga tersebut dianggap terlalu rendah. Otoritas pajak akan mengoreksi harga transfer ke kisaran USD 54–56, misalnya ke USD 55 (margin 10%).
4. TNMM (Transactional Net Margin Method)
Metode paling populer. Membandingkan margin operasional (misalnya operating margin) perusahaan dengan perusahaan sejenis di database global (BvD Orbis, RoyaltyRange, dll). Hasilnya dianalisis dalam kuartil: jika margin perusahaan di luar rentang 25–75%, maka dianggap tidak wajar dan perlu dikoreksi ke median.
Contoh: PT Manufaktur Logam (bukan nama sebenarnya) memiliki operating margin 1,2% dari penjualan ke afiliasinya di Malaysia. Analisis TNMM menggunakan database Orbis mengidentifikasi 15 perusahaan sejenis di sektor logam dasar di ASEAN. Setelah penyesuaian fungsional dan risiko, kuartil 25–75% menghasilkan rentang margin 2,1%–4,9%, dengan median 3,4%. Karena margin PT Manufaktur Logam berada di bawah kuartil pertama, laba fiskalnya dikoreksi naik agar mencerminkan margin median—meningkatkan PPh Badan yang terutang secara signifikan.
5. Metode Transaksi Laba (Profit Split)
Digunakan untuk transaksi bernilai tinggi dengan kontribusi unik dari kedua pihak (misalnya R&D bersama).
Contoh: Perusahaan A (di Indonesia) dan Perusahaan B (di Singapura), keduanya bagian dari grup multinasional, bekerja sama mengembangkan vaksin baru. Perusahaan A menyediakan fasilitas uji klinis dan tenaga ahli lokal, sementara Perusahaan B mendanai 70% biaya R&D dan memegang hak paten global. Total laba dari penjualan vaksin mencapai USD 100 juta. Alih-alih membagi laba berdasarkan biaya, kedua pihak menggunakan residual profit split: laba awal (USD 40 juta) dialokasikan berdasarkan biaya (70:30), sedangkan laba residual (USD 60 juta) dibagi berdasarkan kontribusi unik—misalnya 60% untuk B (paten) dan 40% untuk A (akses pasar dan uji klinis). Metode ini dianggap wajar karena mencerminkan nilai ekonomi nyata dari masing-masing pihak.
Peran Akuntan dan Konsultan: Garda Terdepan dalam Transfer Pricing
Akuntan dan konsultan bukan hanya pencatat transaksi—mereka adalah aktor kunci dalam kepatuhan transfer pricing. Mengapa?
- Laporan keuangan komersial (bukan SPT) menjadi dasar analisis TP Doc.
- Chart of account harus cukup rinci untuk memisahkan transaksi afiliasi dan independen.
- Audit report yang menyebut hubungan istimewa bisa menjadi dasar pemeriksaan pajak—meski hubungan tersebut sudah tidak ada secara hukum.
- Akuntan dan konsultan juga harus memahami industri, ekonomi, dan kebijakan pemerintah yang memengaruhi harga wajar.
Seperti dikatakan ahli transfer pricing:
“Transfer pricing is not an exact science. Ini butuh common sense, riset, pemahaman industri, dan tentu saja, keahlian akuntansi yang solid.”
Tren Terkini: Transparansi Global dan Tekanan pada Abuse Transfer Pricing
Dengan adanya inisiatif seperti BEPS (Base Erosion and Profit Shifting) dari OECD dan pertukaran informasi otomatis antarnegara, praktik abuse transfer pricing semakin sulit dilakukan. Otoritas pajak kini:
- Memiliki akses ke data global,
- Sering mengikuti forum internasional untuk berbagi modus operandi wajib pajak,
- Lebih kritis terhadap manfaat ekonomi dari transaksi jasa manajemen.
Jika perusahaan membayar jasa manajemen ke afiliasi di luar negeri, otoritas pajak akan bertanya:
“Apa manfaat nyata yang diterima? Apakah jasa tersebut benar-benar diberikan?”
Tanpa bukti manfaat ekonomi, pembayaran tersebut bisa dianggap sebagai pengalihan laba semata.
Matasigma: Mitra Andal untuk Kepatuhan Transfer Pricing yang Cerdas
Di tengah kompleksitas regulasi dan risiko finansial yang tinggi, perusahaan membutuhkan mitra yang tidak hanya memahami aturan, tapi juga mampu menyusun strategi transfer pricing yang defensif namun efisien.
Matasigma (MP COnsulting) dengan pengalaman lebih dari 15 tahun dan telah membantu berbagai perusahaan multinasional untuk transfer pricing di Indonesia hadir sebagai konsultan manajemen yang menggabungkan keahlian di bidang perpajakan internasional, akuntansi strategis, dan analisis risiko bisnis. Tim kami membantu klien:
- Menilai kewajiban TP Doc berdasarkan struktur grup dan transaksi,
- Menyusun dokumen lokal dan induk yang memenuhi standar DJP dan OECD,
- Melakukan benchmarking margin dengan database global,
- Menyusun strategi pertahanan jika terjadi pemeriksaan atau sengketa pajak.
Kami percaya: kepatuhan bukan beban, tapi fondasi bisnis yang berkelanjutan.
FAQ: Pertanyaan Umum tentang Transfer Pricing di Indonesia
1. Apakah UMKM perlu khawatir soal transfer pricing?
Jika UMKM tidak memiliki transaksi dengan pihak afiliasi (misalnya tidak ada hubungan kepemilikan 25%+ dengan entitas lain), maka tidak perlu menyusun TP Doc. Namun, jika terlibat dalam grup usaha, wajib evaluasi.
2. Kapan batas waktu penyusunan TP Doc?
TP Doc (dokumen induk & lokal) harus tersedia paling lambat 4 bulan setelah akhir tahun buku—bersamaan dengan tenggat SPT Tahunan. Misalnya, untuk tahun buku 2024, harus siap paling lambat April 2025.
3. Apa bedanya dokumen induk dan dokumen lokal?
- Dokumen induk: menggambarkan bisnis grup secara global (struktur, rantai nilai, kebijakan TP).
- Dokumen lokal: menganalisis kewajaran harga transaksi spesifik perusahaan di Indonesia.
4. Bolehkah menggunakan data komparabel lokal?
Idealnya, gunakan data komparabel sebanyak mungkin. Namun, jika tidak tersedia, data regional/global diperbolehkan—selama metodologinya transparan dan dapat dipertahankan.
5. Apakah transaksi dengan saudara kandung termasuk hubungan istimewa?
Ya. Hubungan keluarga dalam garis lurus satu derajat (orang tua-anak, suami-istri, saudara kandung) termasuk kriteria hubungan istimewa menurut UU PPh.