UMKM Dihantam Regulasi: Kasus Mama Banjar Jadi Cerminan Nasional

Kasus Mama Banjar menjadi pelajaran bagi UMKM untuk peduli pada kepatuhan hukum sejak dini, agar tidak mudah tersandung masalah dan terlindungi dari ancaman eksternal.

Di tengah upaya pemerintah untuk memajukan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), muncul sebuah kasus yang menyita perhatian publik. Seorang pelaku UMKM di Kalimantan Selatan, Firly Norachim, pemilik toko "Mama Khas Banjar", harus berurusan dengan hukum hanya karena menjual produk tanpa label masa kedaluwarsa (expired date). Peristiwa ini menjadi sorotan nasional dan bahkan melibatkan Menteri Koperasi dan UKM, Maman Abdurrahman.


Latar Belakang Kejadian

Kasus ini bermula pada 6 Desember 2024, ketika Polisi Daerah Kalimantan Selatan (Polda Kalsel) menerima laporan dari masyarakat terkait dugaan pelanggaran hukum oleh Toko Mama Khas Banjar. Laporan tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan penyelidikan oleh Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus).

Pada 9 Desember 2024, polisi melakukan penyegelan terhadap sejumlah barang dagangan di toko tersebut karena tidak mencantumkan label expired. Dua hari berselang, tepatnya 11 Desember 2024, barang-barang tersebut disita sebagai barang bukti.

Menurut kuasa hukum Firly, Faisol Abrori, barang-barang yang disita sebenarnya masih berada di gudang dan belum siap untuk dipasarkan. Namun, tindakan hukum tetap dilanjutkan.


Upaya Hukum yang Dilakukan

Firly Norachim, pemilik Toko Mama Khas Banjar, mulai mencari penjelasan hukum terkait kasusnya sejak awal. Pada 10 Januari 2025, ia bersama kuasa hukumnya mendatangi instansi terkait untuk mempertanyakan apakah pelanggaran terhadap UU Perlindungan Konsumen bisa langsung diproses secara pidana. Dalam pertemuan tersebut, disampaikan bahwa pelanggaran administratif seperti tidak adanya label expired pada produk biasanya tidak serta-merta masuk dalam ranah pidana, melainkan lebih dulu melalui pembinaan atau sanksi administratif.

Meski begitu, proses hukum tetap dilanjutkan. Pada 20 Januari 2025, Firly mengajukan pengaduan ke Propam Polda Kalsel atas dugaan pelanggaran etik oleh penyidik. Ia juga mengajukan praperadilan secara daring pada 20 Februari 2025 untuk mempertanyakan sah atau tidaknya penahanan barang bukti. Sayangnya, gugatan ini tidak dapat dilanjutkan karena dianggap tidak memiliki surat kuasa khusus yang sesuai aturan.

Tanggal 25 Februari 2025, Firly menerima kabar bahwa dirinya akan ditahan. Hal ini membuat keluarga dan tim hukum semakin khawatir karena merasa proses hukum terkesan terburu-buru dan tidak transparan.

Sebagai pelaku UMKM, Firly diketahui pernah mendapatkan edukasi dari beberapa pihak terkait pentingnya pelabelan produk, termasuk masa kedaluwarsa. Namun, dalam praktiknya, ada indikasi bahwa ia belum sepenuhnya mematuhi aturan tersebut. Beberapa kali, ia mungkin telah menerima teguran atau himbauan dari dinas terkait, tetapi belum mengambil langkah konkret untuk memperbaiki administrasi dan kepatuhan usahanya.


Dampak Emosional dan Ekonomi

Pada 30 April 2025, istri Firly, Ani, mengumumkan melalui media sosial bahwa toko Mama Khas Banjar akan tutup mulai 1 Mei 2025. Penyebabnya adalah tekanan mental dan finansial yang terlalu besar akibat kasus ini.

“Kami trauma dan tidak sanggup lagi menghadapi masalah yang datang silih berganti,” ujarnya dalam video tersebut.

Penutupan toko ini menjadi simbol betapa pentingnya bagi pelaku UMKM untuk segera merapikan administrasi dan memenuhi persyaratan hukum begitu usahanya mulai berkembang — sebelum masalah datang dan menyebabkan kerugian yang lebih besar.


Sidang dan Keterlibatan Menteri UMKM

Pada 14 Mei 2025, sidang perdana digelar di Pengadilan Negeri Banjarbaru. Menteri Koperasi dan UKM, Maman Abdurrahman, hadir sebagai Amicus Curiae atau “sahabat pengadilan” untuk memberikan pandangan hukum terkait pentingnya perlindungan terhadap pelaku UMKM.

Jaksa Penuntut Umum (JPU) mendakwa Firly dengan Pasal 62 ayat (1) Jo. Pasal 8 Ayat (1) huruf g atau i Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.


Refleksi atas Kasus Ini

Kasus ini bukan hanya tentang satu pelaku UMKM di Kalimantan Selatan. Lebih dari itu, kejadian seperti ini mungkin sedang atau bahkan sudah sering dialami oleh hampir 90% pelaku usaha kecil dan menengah di Indonesia. Banyak dari mereka memulai usaha dari rumah, tanpa pendampingan formal, dan minim pengetahuan mengenai regulasi bisnis.

Akibatnya, banyak pelaku UMKM cenderung tidak preventif, artinya mereka tidak secara aktif mempersiapkan diri untuk memenuhi persyaratan administratif, pelabelan produk, atau izin edar. Sikap ini bukan semata karena ketidaktahuan, tetapi juga karena banyak dari mereka sudah pernah ditegur atau mengetahui aturan, namun cenderung kurang peduli.

Sebagian besar pelaku UMKM memiliki prasangka buruk terhadap kepatuhan hukum, yang dianggap merepotkan, birokratis, dan tidak mendesak. Padahal, sikap acuh tersebut justru membuat mereka rentan saat masalah datang.

Ironisnya, ketika masalah muncul, penegakan hukum dilakukan secara reaktif dan kadang terkesan terlalu keras. Padahal, jika ada pembinaan sejak awal serta kesadaran dari pelaku usaha untuk patuh, banyak kerugian bisa dihindari.

Keterlibatan Menteri Koperasi dan UKM dalam kasus ini menjadi simbol bahwa pemerintah pusat mulai menyadari pentingnya melindungi para pelaku UMKM. Namun, sistem penegakan hukum perlu lebih bijaksana agar tidak merugikan rakyat kecil yang justru sedang berusaha bangkit.


Penutup

Kasus Mama Banjar menjadi pelajaran penting bagi seluruh pelaku usaha kecil dan menengah di Indonesia. Marilah, sejak dini, kita sebagai pelaku UMKM mulai peduli terhadap kepatuhan hukum, termasuk dalam hal pajak, pelabelan produk, dan pengelolaan administrasi — terutama ketika omset mulai meningkat dan usaha semakin berkembang.

Jangan sampai kita baru memperbaiki administrasi dan ketaatan regulasi ketika masalah sudah datang. Karena pada saat itu, UMKM justru berada dalam posisi yang sangat lemah secara hukum, dan bisa dengan mudah digugat, dilaporkan, atau bahkan ditutup karena berbagai pelanggaran administratif.

Lebih jauh lagi, celah ini juga bisa dimanfaatkan oleh kompetitor tidak sehat atau pihak-pihak yang memiliki kepentingan tertentu untuk mengganggu kelangsungan bisnis kita. Oleh karena itu, penting untuk bersikap preventif, bukan hanya reaktif.

Mulailah dari sekarang: rapikan dokumen, lengkapi izin usaha, perhatikan pelabelan produk, dan penuhi kewajiban pajak. Dengan begitu, usaha kita tidak hanya besar secara omset, tetapi juga kuat secara legalitas dan siap menghadapi tantangan hukum di masa depan.